Scroll ke Bawah Membaca Artikel
325×300
DaerahEkonomiKesehatanNasionalNewsRagam

Komisi V DPRD Jabar Usul MBG Dikelola Sekolah, Pondok Pesantren hingga Posyandu

741
×

Komisi V DPRD Jabar Usul MBG Dikelola Sekolah, Pondok Pesantren hingga Posyandu

Sebarkan artikel ini
Anggota Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat Aceng Malki mengusulkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dikelola mandiri oleh kantin di sekolah, kantin di pesantren dan dikelola oleh ibu-ibu kader Posyandu, mengingat jumlah korban keracunan MBG di Jabar tercatat tertinggi dibandingkan provinsi lain.

KORANPUBLIKA.CO.ID|Kota Bandung,- Anggota Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat Aceng Malki mengusulkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dikelola mandiri oleh kantin di sekolah, kantin di pesantren dan dikelola oleh ibu-ibu kader Posyandu, mengingat jumlah korban keracunan MBG di Jabar tercatat tertinggi dibandingkan provinsi lain.

“Saya menyarankan MBG dikelola langsung oleh sekolah. Ya, dibuat SPPG atau dapur MBG-nya di sekolah, di kantin sekolah saja. Biar juga lingkungan sekolah berdaya, dan mereka (sekolah) lebih paham apa yang dibutuhkan dan diinginkan muridnya,” tegas Aceng Malki, Kota Bandung, Rabu (22/10/2025).

Scroll ke Bawah Terus Membaca Artikel
Example 300x600
Advertorial

Selain karena pihak sekolah atau satuan pendidikan lainnya lebih memahami karakter anak didiknya, pengelolaan MBG di sekolah dinilai lebih terjamin keamanannya dan kebersihannya serta lebih efektif karena yang dikelola tidak banyak.

Sebagai solusi sebaiknya dapur MBG tidak berskala besar, melainkan dibuat lebih kecil dan dikelola langsung oleh sekolah atau lembaga pendidikan dengan pengawasan dinas kesehatan dan dinas pendidikan setempat.

“Kalau bisa, dapurnya tidak sampai ribuan porsi, cukup untuk 500-1.000 anak perdapur, misalnya di kantin sekolah atau pesantren. Dengan begitu, pengawasannya lebih mudah dan masyarakat sekitar juga bisa berdaya,” ucapnya.

Pengawasan Diperketat

Aceng Malki pun meminta program MBG sebaiknya diperketat pengawasannya. Berdasarkan hasil kunjungan lapangan menunjukkan masih lemahnya pengawasan terhadap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) serta kurangnya profesionalitas tenaga pengelola. Banyak SPPG yang tidak berkoordinasi dengan puskesmas atau pemerintah setempat.

“SPPG ada yang tidak diketahui oleh perangkat daerah di wilayahnya. Ini harus dievaluasi dari sisi pengawasan,” pintanya.

Selain itu, banyak tenaga dapur yang tidak memiliki kompetensi memasak dalam skala besar sehingga berdampak pada kualitas makanan. Banyak juga ditemukan pelanggaran terhadap kebijakan penyediaan menu bergizi seperti ketiadaan susu dan buah-buahan di sejumlah sekolah penerima.

Selanjutnya Aceng menyoroti dari 2.131 dapur penyedia MBG, hanya 17 yang memiliki Sertifikasi Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Menurutnya kondisi ini menunjukkan lemahnya sistem seleksi dapur yang masih didominasi faktor koneksi.

Terkait usulan agar dana MBG disalurkan langsung kepada orang tua, ia menyatakan tidak setuju. Menurutnya, penyaluran dana sebaiknya tetap dilakukan melalui lembaga pendidikan atau sekolah agar pengelolaan gizi dan makanan tetap terkontrol.

example 325×300